Peraturan impelentasi Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menuntut untuk segera diimplementasikannya pembelajaran inovatif. Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang lebih bersifat student centered. Artinya, pembelajaran yang lebih memberikan peluang kepada mahasiswa untuk mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri (self directed) dan dimediasi oleh teman sebaya (peer mediated instruction). Pembelajaran inovatif mendasarkan diri pada paradigma konstruktivistik
Pembelajaran inovatif yang berlandaskan paradigma konstruktivistik membantu mahasiswa untuk menginternalisasi, membentuk kembali, atau mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi melalui kreasi pemahaman baru (Gardner, 1991) yang merupakan hasil dari munculnya struktur kognitif baru. Pemahaman yang mendalam terjadi ketika hadirnya informasi baru yang mendorong munculnya atau menaikkan struktur kognitif yang memungkinkan mahasiswa memikirkan kembali ide-ide mereka sebelumnya. Dalam seting kelas konstruktivistik, para mahasiswa bertanggung jawab terhadap belajarannya, menjadi pemikir yang otonom, mengembangkan konsep terintegrasi, mengembangkan pertanyaan yang menantang, dan menemukan jawabannya secara mandiri (Brook & Brook, 1993; Duit, 1996;
Savery & Duffy, 1996). Tujuh nilai utama konstruktivisme, yaitu: kolaborasi, otonomi individu, generativitas, reflektivitas, keaktifan, relevansi diri, dan pluralisme. Nilai-nilai tersebut menyediakan peluang kepada mahasiswa dalam pencapaian pemahaman secara mendalam. Seting pengajaran konstruktivistik yang mendorong konstruksi pengetahuan secara aktif memiliki beberapa ciri:
(1)Menyediakan peluang kepada mahasiswa belajar dari tujuan yang ditetapkan dan mengembangkan ide-ide secara lebih luas; (
2) Mendukung kemandirian mahasiswa belajar dan berdiskusi, membuat hubungan, merumuskan kembali ide-ide, dan menarik kesimpulan sendiri;
(3) Sharing dengan mahasiswa mengenai pentingnya pesan bahwa dunia adalah tempat yang kompleks di mana terdapat pandangan yang multi dan kebenaran sering merupakan hasil interpretasi;
(4) Menempatkan pembelajaran berpusat pada mahasiswa dan penilaian yang mampu mencerminkan berpikir divergen mahasiswa.
Urutan-urutan mengajar konstruktivistik melibatkan suatu periode di mana pengetahuan awal para mahasiswa didiskusikan secara eksplisit. Dalam diskusi kelas yang menyerupai negosiasi, guru memperkenalkan konsepsi untuk dipelajari dan mengembangkannya. Strategi konflik kognitif cenderung memainkan peranan utama ketika
pengetahuan awal para mahasiswa diperbandingkan dengan konsepsi yang diperlihatkan oleh guru. Untuk maksud tersebut, pemberdayaan pengetahuan awal para mahasiswa sebelum pembelajaran adalah salah satu langkah yang efektif dalam pembelajaran konstruktivistik.
Beberapa pendekatan pembelajaran sering berfokus pada kemampuan metakognitif para mahasiswa. Para mahasiswa diberikan kebebasan dalam mengembangkan keterampilan berpikir. Pembelajaran mencoba memandu para mahasiswa menuju pandangan konstruktivistik mengenai belajar, bahwa mahasiswa sendiri secara aktif mengkonstruksi pengetahuan mereka. Penelitian sebelumnya telah mengungkapkan bahwa pembelajaran inovatif dapat meningkatkan proses dan hasil belajar mahasiswa (Ardhana et al., 2003; Sadia et al., 2004; Santyasa et al., 2003).
Seirama dengan kesesuaian penerapan paradigma pembelajaran, tidak terlepas pula
dalam penetapan tujuan belajar yang disasar dan hasil belajar yang diharapkan.
Tujuan belajar menurut paradigma konstruktivistik mendasarkan diri pada tiga fokus
belajar, yaitu: (1) proses, (2) tranfer belajar, dan (3) bagaimana belajar.
Fokus yang pertama—proses, mendasarkan diri pada nilai sebagai dasar untuk
mempersepsi apa yang terjadi apabila mahasiswa diasumsikan belajar. Nilai tersebut didasari oleh asumsi, bahwa dalam belajar, sesungguhnya mahasiswa berkembang secara alamiah. Oleh sebab itu, paradigma pembelajaran hendaknya mengembalikan mahasiswa ke fitrahnya sebagai manusia dibandingkan hanya menganggap mereka belajar hanya dari apa yang dipresentasikan oleh dosen/guru. Implikasi nilai tersebut melahirkan komitmen untuk beralih dari konsep pendidikan berpusat pada kurikulum menuju pendidikan berpusat pada mahasiswa. Dalam pendidikan berpusat pada siswa, tujuan belajar lebih berfokus pada upaya bagaimana membantu para mahasiswa melakukan revolusi kognitif. Model pembelajaran perubahan konseptual (Santyasa, 2004) merupakan alternatif strategi pencapaian tujuan pembelajaran tersebut. Pembelajaran yang fokus pada proses pembelajaran adalah suatu nilai utama pendekatan konstruktivstik.
Fokus yang kedua—transfer belajar, mendasarkan diri pada premis “siswa dapat menggunakan dibandingkan hanya dapat mengingat apa yang dipelajari”. Satu nilai yang dapat dipetik dari premis tersebut, bahwa belajar bermakna harus diyakini memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan dengan belajar menghafat, dan pemahaman lebih baik dibandingkan hafalan. Sebagai bukti pemahaman mendalam adalah kemampuan mentransfer apa yang dipelajari ke dalam situasi baru.
Fokus yang ketiga—bagimana belajar (how to learn) memiliki nilai yang lebih penting dibandingkan dengan apa yang dipelajari (what to learn). Alternatif pencapaian learning how to learn, adalah dengan memberdayakan keterampilan berpikir siswa. Dalam hal ini, diperlukan fasilitas belajar untuk ketarampilan berpikir. Belajar berbasis keterampilan berpikir merupakan dasar untuk mencapai tujuan belajar bagaimana belajar (Santyasa, 2003).
Desain pembelajaran yang konsisten dengan tujuan belajar yang disasar tersebut
tentunya diupayakan pula untuk mencapai hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan.
Paradigma tentang hasil belajar yang berasal dari tujuan belajar kekinian tersebut hendaknya bergeser dari belajar hafalan menuju belajar mengkonstruksi pengetahuan.
Belajar hafalan, miskin dengan retensi, transfer, dan hasil belajar. siswa tidak
menyediakan perhatian terhadap informasi relevan yang diterimanya. Belajar hafalan, hanya mampu mengingat informasi-informasi penting dari pelajaran, tetapi tidak bisa menampilkan unjuk kerja dalam menerapkan informasi tersebut dalam memecahkan masalah-masalah baru. Mahasiswa hanya mampu menambah informasi dalam memori. Belajar mengkonstruksi pengetahuan dapat menampilkan unjuk kerja retensi dan transfer. Mahasiswa mencoba membuat gagasan tentang informasi yang diterima, mencoba mengembangkan model mental dengan mengaitkan hubungan sebab akibat, dan menggunakan proses-proses kognitif dalam belajar.
Proses-proses kognitif utama meliputi penyediaan perhatian terhadap informasi-informasi yang relevan dengan seleksi, mengorganisasi infromasi-informasi tersebut dalam representasi yang koheren melalui proses pengorganisasian, dan menggabungkan representasi-representasi tersebut dengan pengetahuan yang telah ada di benaknya melalui proses integrasi. Hasil-hasil belajar tersebut secara teoretik menjamin mahasiswa untuk memperoleh keterampilan penerapan pengetahuan secara bermakna. Dalam hal ini, peranan guru sangat strategis untuk membantu mahasiswa mengkonstruksi tujuan belajar.
Menurut hasil forum Carnegie tentang pendidikan dan ekonomi (Arend et al., 2001), di
abad informasi ini terdapat sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh Dosen/ Guru dalam pembelajaran. Kemampuan-kemampuan tersebut, adalah memiliki pemahaman yang baik tentang kerja baik fisik maupun sosial, memiliki rasa dan kemampuan mengumpulkan dan menganalisis data, memiliki kemampuan membantu pemahaman mahasiswa, memiliki kemampuan mempercepat kreativitas sejati mahasiswa, dan memiliki kemampuan kerja sama dengan orang lain. Para Dosen diharapkan dapat belajar sepanjang hayat seirama dengan pengetahuan yang mereka perlukan untuk mendukung pekerjaannya serta menghadapi tantangan dan kemajuan sains dan teknologi. Dosen tidak diharuskan memiliki semua pengetahuan, tetapi hendaknya
memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang mereka perlukan, di mana
memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Para Dosen diharapkan bertindak atas dasar
berpikir yang mendalam, bertindak independen dan kolaboratif satu sama lain, dan siap menyumbangkan pertimbangan-pertimbangan kritis. Para Dosen diharapkan menjadi
masyarakat memiliki pengetahuan yang luas dan pemahaman yang mendalam. Di samping
penguasaan materi, guru juga dituntut memiliki keragaman model atau strategi pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan belajar dari topik-topik yang beragam.
Secara lebih spesifik, peranan dosen dalam pembelajaran adalah sebagai expert
learners, sebagai manager, dan sebagai mediator. Sebagai expert learners, dosen diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang materi pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup untuk dosen, menyediakan masalah dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika mahasiswa sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan psikomotor mahasiswa.
Sebagai manager, dosen berkewajiban memonitor hasil belajar para mahasiswa dan masalah- masalah yang dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan interpersonal, dan memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas. Dalam hal ini, dosen berperan sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai isi, menseleksi proses-proses kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan pengelompokan mahasiswa. Sebagai mediator, guru memandu mengetengahi antar mahasiswa, membantu para mahasiswa memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi visual dari suatu masalah, memandu para mahasiswa mengembangkan sikap positif terhadap belajar, pemusatan perhatian, mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal, dan menjelaskan bagaimana mengaitkan gagasan-gagasan para mahasiswa, pemodelan proses berpikir dengan menunjukkan kepada mahasiswa ikut berpikir kritis.
Terkait dengan desain pembelajaran, peran dosen adalah mengkreasi dan memahami
model-model pembelajaran inovatif. Gunter et al (1990:67) mendefinisikan an instructional model is a step-by-step procedure that leads to specific learning outcomes. Joyce & Weil (1980) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model pembelajaran cenderung preskriptif, yang relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran. An instructional strategy is a method for delivering instruction that is intended to help students achieve a learning objective (Burden & Byrd, 1999:85).
Selain memperhatikan rasional teoretik, tujuan, dan hasil yang ingin dicapai, model pembelajaran memiliki lima unsur dasar (Joyce & Weil (1980), yaitu (1) syntax, yaitu
langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya dosen memandang, memperlakukan, dan merespon mahasiswa, (4) support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant effects—hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturant effects).
Berikut diberikan delapan contoh model pembelajaran yang berlandaskan paradigma
konstruktivistik, yaitu:
a. model reasoning and problem solving,
b. model inquiry training,
c. model problem-based instruction,
d. model pembelajaran perubahan konseptual,
e. model group investigation,
f. model problem-based learning,
g. model penelitian Jurisprudensial, dan
h. modelpenelitian sosial.
selanjutnya model pembelajaran dapat di baca di http://stikesmuhgombong.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke blog ini, berikan komentar atau follow this blog